Arak-arakan langit senja terlihat begitu indah. Pepohonan seakan menari, menikmati belaian lembut angin yang berembus.Hujan rintik-rintik turun, menyongsong senja yang telah tiba. Di balik keramaian kota, seorang Ibu paruhbaya menjinjing barang jualannya. Tersirat wajah bahagianya, walaupun kue-kue jualannya masih sedikit terjual.
Ckiiit! Rem mendadak yang dilakukan oleh supir pribadiSyalia membuat badanku ke depan. Rupanya ada seorang ibu yang sedangmenyebrang. Pelan sekali.
“Siapa sih, Ibu itu? Sudah hampir tua, lelet lagi jalannya,” gerutu Syalia seraya membuka kaca jendela mobil. “Oh,ternyata penjual kue. Ih, enggak level binggow,”lanjutnya.
Aku dan Syalia memutuskan untuk turun, lantas berjalan menuju ibu penjual kue itu.
Syalia mengentakkan kaki.
“Ibu, kalau jalan bisa enggak sih, lihat-lihat?”
Spontan, Ibu penjual kue itu melihat wajah kami berdua, aku dan Syalia. Begitukagetnya aku. Ibu penjual itu adalah ….. Ibu!
Hah? Ngapain Ibu jualan kue? Malu tahu. Apalagi dilihat sama Syalia.Huh, batinku kesal.
“Layla, bukannya itu ibu kamu?” tanya Syalia.Aku diam seribu bahasa. Begini-begini juga, aku bukan malin kundang yang tidakmengakui ibunya. Ugh, harus gimana ini?
Dengan sangat amat terpaksa, aku mengangguk.“Maafiin ibu aku ya. Ya udah deh, pesta tehnya diundur aja. Kamu pulang. Biar aku yang beresin semuanya,”
Syalia mengangguk mengerti, lalu menujuke mobilnya.Brmm…. Mobil melaju, hingga hilang dari pandanganku. Kini, tinggalah aku dan Ibu. Aku dan Ibu berjalan ke pinggir.
“Bu, ngapain sih Ibu jualan kue segala? Katanya ibu sakit. Sampai enggak mau beliin Layla baju lagi. Layla sebenernya udah sabar waktu Ibu enggak beliin baju. Tapi sekarang, ternyata Ibu bohong. Berarti ibu enggak sakit kan? Hujan-hujan gini relain jualan kue,”ucapku kesal. Aku membuka tutup keranjang kue yang dijinjing Ibu. Segera saja kuambil kue-kue itu dan membuangnya ke tanah. Ketika semua kue sudah berada ditanah, aku injak semua kue itu.
Aku berlari meninggalkan Ibu. Untung saja,rumahku tak jauh dari sini.
***
Sudah tiga hari lamanya Ibu tidak datang ke rumah. Oups, rumah? Mungkin. Tapi lebih tepatnya tempat berlindung dari bambu dan anyaman. Well,aku enggak tahu apa namanya rumah jelek itu. Jadi, selama ini aku berpuasa. Kalau di sekolah, aku selalu diberi chiki serta snack lainnya oleh teman-teman.
“Assalamu’alaikum,” salamku ketika kakikusudah berpijak di rumah. Tak ada siapa-siapa. Huh, Ibu macam apa sih yang tega ninggalin anaknya. Udah tahu Bapaknya udah meninggal. Sekolahku juga dari beasiswa prestasi, karena menang lomba olimpiade. Awalnya sih beasiswa kurangmampu di sekolah dasar negeri, tapi karena mewakili sekolah hingga tingkatnasional dan juara, aku jadi mendapat beasiswa di sekolah elite. Back to the story.
Bruuk! Aku menyimpan tas di dekat meja belajar yang telah rapuh. Eh,apa itu? Sebuah kotak besar. Dibungkus dengan kertas bermotif yang menawan. Sungguh indah. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku segera membukanya. Terdapat lima potong baju yang aku idam-idamkanselama ini.
Ngiung..ngiung.. ngiung..! Terdengar suaraambulns. Semakin lama, suaranya semakin mengeras.
“Layla…! Layla …!” seru Bu Ida,tetanggaku. Beliau orang kaya. Rumahnya megah, antonim dari rumahku.
”Ada apa, Bu?”
“Ibumu, Lay. Ibumu….,” Bu Ida langsung menjelaskan semuanya. Semua berawal dari tiga hari yang lalu. Ketika senja telah berakhir, Ibu tertabrak oleh mobil. Dan rupanya, Ibu tertabrak mobil karena dia pusing. Penyakitnya belum sembuh tapi sudah jualan kue sambil hujan-hujanan. Itu karena aku, hiks…. Ibu. Jangan pergi! Aku membatin penuh penyesalan.
Kau tahu, apa yang terjadi selanjutnya? Akumenangis dan menjerit sekeras-kerasnya. Jeritan penuh dosa, yang tak bisa didengar oleh Ibu. Bu, kalau Ibu bisa hidup lagi, aku ingin memeluk Ibu dan meminta maaf, Bu …
No comments:
Post a Comment