Wednesday, April 15, 2015

Jelmaan Air Mata


             “Buang saja mimpimu jauh-jauh. Anggap sajamimpi itu telah sirna bersama dengan sirnanya senja kali ini, Runi.”

Semburat jingga yang terlukis sempurna terlihat begitu menawan. Jarum jam terlihat sangat lincah berputar, tak seperti biasanya. Angin bertiup lembut, seakan membelai setiap orang dengan cinta. Sekawanan burung berkelana,  menghiasi indahnya senja.

  Clak..! Clak .. ! Air mata keluar dari mata Runi. Di antara tangisnya, ia mencoba untuk terbangun. Ingin rasanya aku membantunya. Tersirat      dari wajahnya, ia berteriak mengekspresikan perasaannya kali ini. Namun sayang. Aku hanyalah Nadia,siswi kelas 6 yang tidak mungkin bisa mengalahkan Kamelia. Maafkan aku, Runi, batinku. Lagipula, aku tidak selevel dengan Runi. Seperti bumi danlangit. Aku anak orang kaya sedangkan Runi? Eh, tapi tunggu. Bukankah akusetiap hari memerhatikan dia walaupun tidak sekelas?
   Ya, seperti biasa Kamelia dan kawan-kawan membully Runi. Bahkan, uang jajan Runidiambil oleh Kamelia. Padahal, Runi hanya membawa uang jajan seribu rupiahsetiap harinya. Dan kali ini, Kamelia membakar kertas bertuliskan cerita pendek karya Runi. Runi akhirnya bisa terbangun. Ada luka kecil di kakinya. Ketika ia berdiri, Kamelia mendorongnyahingga terjatuh kembali.

     “Sudah kubilang, kau menyerah saja. Dasar payah! Oh ya, buang mimpimu jauh-jauh ya!” seru Kamelia.
***
  Bel istirahat berbunyi nyaring. Seperti biasa, semua berhamburan untuk pergi keluar kelas. Aku berjalan bersama Shara,   namun berpisah ketika sampai di depan perpustakaan. Kini aku hanya sendiri. Kulihat, Runi sedang mengajarkan materi-materi matematika kepada Kamelia. Dia juga berbicara, menawarkan barang dagangannya ketika Kamelia sedang mengerjakan soal yang diajari Runi.
  Itulah Runi. Siswi yang hanya memiliki delapan jari. Ia selalu ceria, walau ia dibully.  Mungkin bisa dibilang kemarin sore saja ia menangis. Sebelum dan setelahnya, Runi selalu tersenyum. Yups, Runi sukses membuat tanda tanya di pikiranku.
***
   Pemandangan kota yang penuh polusi kini sudah bermetamorfosis menjadi kota canggih namun bebas polusi. Kau pasti heran, mengapa ada kota canggih namun bebas polusi? Memangnya ada, kota canggih tanpa polusi?
  Inilah Indonesia. Telah berubah mengikuti arus globalisasi. Kau jangan lupa denganku , ya! Aku Nadia. Sekarang aku bekerja sebagai pembawa acaratalkshow di salah satu televisi swasta ternama. Sebelum acara talkshowdimulai, seperti biasa aku akan berbincang-bincang dengan bintang tamunya.
   Di hadapanku ada seorang wanita sukses. Parasnyacantik bukan main.
“Khairunnisa Azzahra?” pekikku kaget ketika aku tahu bintang tamu kali ini. Dia berjalan dan duduk di dekatku. Spontan, aku dan dirinya berpelukan. Ya, kini aku berhadapan dengan Runi, penulis sukses. Buku-bukunya best seller, terkenal hampir di seluruh dunia karena bukunya dicetak di berbagai Negara, dan buku-bukunya juga banyak yang diangkat menjadi film layar lebar.

    “Hai Runi, apa kabar? Oh ya, ada satu pertanyaan besar yang masih belum terjawab sejak dulu dari zaman kita SD. Kamu sering dibully oleh Kamelia dan kawan-kawan, namun kamu tetap ceria, tersenyum. Bahkan kamu masih mau mengajari Kamelia tentang pelajaran yang tidak ia mengerti. Mengapa, Runi?” tanyaku. Runi tersenyum, lalu memutarkan bola matanya. Sepertinya ia sedang menerawang ke masa lalu, mengingat kembali memori-memori kenangan dulu.
  “Alhamdulillah, Nad. Aku baik. Nah lho,pertanyaan itu ya? Sebenarnya, aku bisa jadi sukses seperti ini dan bisa selalu ceria walau dibully karena satu. Orang tua. Kamu tahu, Nad? Orang tua adalah segalanya. Manusia yang bisa apa saja. Abi seorang pahlawan yang bekerja banting tulang dan Ummi adalah malaikat yang rela apapun. Dan orang tualah yang membuat hari-hari berwarna, membuat dunia menjadi bermakna. Jasanya sungguh berharga,” Runi menarik nafasnya. “Jadi, kesuksesan ini adalah jelmaan dari airmata. Air mata kesedihanku dulu. Tapi, karena Ummi dan Abi, air mata itu menjadi tawa. Hingga menjelma menjadi kesuksesan,”  
  Aku mengangguk, berusaha mencernakata-kata Runi tadi. Ya, orang tua adalah segalanya. Kini aku tahu, mengapa Runi selalu ceria. Karena Runi bahagia dan sangat bersyukur ada surga di rumahnya. Langsung saja aku teringat pada Ayah dan Bunda. Saat ini Ayah dan  Bunda pasti memikirkanku walau sedang sakit, sedangkan aku yang masih sehat tidak memikirkan mereka. Ayah, Bunda….,aku membatin. Tanpa terasa, setetes air mata jatuh dari mataku.      

Rahasia Baila


Rahasia Baila
Entah kenapa, sejak dari pertama kenal Baila, aku tidak pernah menyukainya. Bukan karena dia lebih jago matematika dariku, atau karena dia juara kelas. Bukan, bukan itu! Di kelas ini, tidak ada seorangpun yang bisa mengalahkanku dalam olimpiade matematika apalagi juara umum!
Pasti kalian pikir, aku tidak menyukai Baila karena dia cantik? Karena dia punya barang-barang yang bagus? Atau karena dia punya uang jajan yang banyak? Duuh, bukan karena itu semua teman! Baila bahkan tidak miliki semua itu, dia hanya anak perempuan biasa saja, tidak bule indo seperti aku. Apalagi soal barang yang dipakainya, semua biasa saja, seperti kebanyakan orang. Dan, tentu saja juga Baila tidak punya uang jajan yang banyak, seperti yang ada di dalam dompet biru Fozenku. Dia malah selalu bawa bekal ke sekolah.
Terus kenapa, aku tidak menyukainya? Bahkan tidak ada satu halpun pada Baila yang mampu menyaingiku? Ya, itu dia! Justru aku tidak menyukai Baila karena kebersahajaannya. Aku aneh? Mungkin sekarang kalian bilang begitu tapi baiklah aku akan ceritakan kelanjutannya..
smile emoticon
Setiap pagi, Baila yang berkulit sedikit gelap itu pasti datang lebih awal dari teman yang lainnya. Dia membawa banyak termos-termos kecil di atas keranjang sepedanya. Keranjang yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa membawa enam termos dengan baik. Termos itu dititipkan di warung-warung langganan juga di kantin sekolah. Baila menitipkan termos kecil berisi es buatan ibunya di warung-warung dan diambil kembali saat pulang sekolah. Es yang enak, meski aku membelinya tanpa sepengetahuan Baila dong!
Kalau hari panas, es Baila pasti laku keras dan dia akan tertawa senang. Tapi kalau mendung dan musim hujan, sudah dipastikan pula es Baila tidak akan habis, dan dia (tetap) akan tertawa senang. Itu hal yang aku tidak suka pada Baila!
Baila itu tidak jago dalam semua mata pelajaran, standar dan biasa saja, paling hanya tuntas KKM saja, tapi semua guru menyukainya. Dan lagi-lagi dia akan tersenyum, hal yang aku tidak suka. Begitu pula teman-teman, apa serunya coba main sama Baila? Tapi hampir seisi sekolahan senang padanya. Dan dia tersenyum lagi.
smile emoticon
Hari Senin, itu adalah hari yang sangat bersejarah buatku. Bel pulang sekolah telah berbunyi, semua bergegas pulang ke rumah. Tapi sampai angka 2 di jam tanganku, Pak Rudi sopirku belum juga datang menjemput. Aku berkali-kali mengecek hapeku, tidak ada balasan sms dan bbm dari Pak Rudi.
"Huh! Kemana dulu sih sopir pemalas itu?" dengusku dengan kesal
"Heeei, Freya? Kok, kamu masih di sekolah?" sebuah suara terdengar dari arah belakangku. Mmm, apa pedulinya sih anak itu? Dia si Baila!
"Jangan sok perhatian! Kepo!" sahutku makin kesal
"Nih! Buat ngilangin haus." Baila memberikan dua es kepadaku. Sebenarnya aku mau banget, apalagi udah siang banget seperti ini, haus dan lapar sekali. Tapi tidak, aku kan enggak suka liat Baila!
"Huh!" kataku melengos
"Freya, rumah kamu jauh ya?" Baila masih saja mengajakku ngobrol.
Duh, kenapa sih anak ini kepo banget jadi orang! Ngeselin banget deh. Tapi, dia ngapain juga masih di sekolahan ya?
"Eh Baila, kok masih di sini?" tanyaku
"Nemenin kamu!" jawab Baila tersenyum
"Haaa? Nemenin aku?"
"Aku liat kamu masih ada dan sendirian, jadi temenin aja sampai sopir kamu datang, hehhehe.." jawab Baila dengan senyum (yang baru aku sadari, itu manis sekali)
Aku tertegun mendengar jawaban Baila. Bukannya aku dan dia selama ini enggak akrab? Bahkan kadang aku terang-terangan memperlihatkan tidak sukaku pada dia. Tapi...
"Freya, kamu nunggu sopirnya di rumahku aja yuk! Pasti sekarang kamu udah lapar banget." ajak Baila padaku.
"Mmm, emang rumah kamu di mana?" tanyaku pada Baila
"Itu, dekat kok dari sini, yuuk!" Baila menarik tanganku.
smile emoticon
Aku tidak tahu, apakah kejadian hari Senin ini adalah cara Tuhan untuk membukakan mata hatiku, agar dapat melihat sesuatu dengan cara yang berbeda.
Rumah Baila sangat sederhana, dia punya tiga adik yang masih kecil. Ayah yang lumpuh akibat kecelakaan setahun yang lalu dan seorang ibu yang selalu tersenyum dengan tulus.
Berada sesaat saja di rumah Baila, membuat aku yang masuk kategori anak jenius ini, merasa seperti butiran debu.
Bagaimana tidak? Aku miliki segalanya bahkan berlimpah. Aku punya Mom and Dad yang hebat, yang bekerja siang malam untukku, bahkan saking sibuknya jarang aku bertemu dengan mereka. Aku juga tidak perlu berbagi apapun dengan saudaraku, karena aku anak tunggal.
Pantas saja, Baila selalu tersenyum dengan semua harinya, dengan semua apa adanya dia, karena dia.. Dia, Baila miliki surga di rumahnya.
‪#‎Tag‬ Kak Sekar ChamdiSurga Dirumahmu, finally the last duty as Duta Film Ada Surga Di Rumahmu smile emoticon

Wednesday, April 8, 2015

Sebuah pesan menyentuh dari Ustad Ahmad Alhabsyi

Assalamualaikum wr.wb.
Subhanallah, maha indah al-Qur'an tegaskan untuk kita, bahwa kita adalah umat terbaik selama kita mau berdiri, saling mendukung untuk menebar kebaikan (Ali Imran 110).
Maha Rahman Allah, saat ada kabar, berita, info harus selalu check n recheck, tabayun hingga tdk menjadi fitnah yang kurangi nikmat ukhuwah (al-Hujurat 6)
Betapa menderita bila kita termasuk pelaku fitnah, atau penyambung fitnah (dg menyebarkan atau BC), bayangkan Allah tegaskan fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Mulia jd orang yg cerdas, jadi muslim yg pinter; orang yg setiap ada informasi masuk, tak hanya mendengar dan membaca, tapi ia mau melihat, berpikir, bertanya dan baru menyimpulkan.
Kita berpahala jika trs terobsesi n semangat dlm tolong menolong dlm kebaikan, krn pahala pelakunya kita raih juga. Sebaliknya, rendahlah kita bila sibuk menyebarkan yang tak benar dann tak baik, karena kita pun bisa terkena dosanya (al-Maidah:2).
Haqul yakin tak bijak, jika masalahkan media. Iya media-media Nasional, jg tvtv sebagian besar bukan milik Muslim, handphone, mobil, pesawat, dan lain-lain yang nyata bukan punya umat, milik org lain, siapkah kita dikatakan kita berdosa karena menggunakannya.
"Ada Surga di Rumahmu" merupakan film perjuangan dakwah menebar kebaikan. Diangkat dr buku National Best Seller karya saya, al-Faqir Ahmad Al Habsyi. Nilai sentral luhur yg dikedepankan buku dan film adalah pentingnya berbakti kepada orang tua. Garansi bebas dari nilai atau ajaran yg tak sejukkan pandangan ukhuwah islamiyah.
Persembahan cinta untuk orang tua yg terlegitimasi agung dalam ayat-ayat al-Qur'an dan as-Sunnah.Inilah nilai fitrah manusia agar segera mengejar surga di rumah, orang tua.
Semua sepakat; atas nama perintah Allah dan Rasul-Nya, atas nama fitrah suci kita, atas nama cinta orang tua, atas nama usaha menjadi umat terbaik, atas cita agar anak-anak kita berbakti kepada orang tua, hingga lahirkan ridha Allah pada semesta, saya mengajak mari kita berkontribusi dengan kebaikan, mari saatnya kita ajak anak-anak kita, keluarga, teman, saudara, nonton film dakwah "Ada Surga di Rumahmu". Terima kasih. Salam ukhuwah.

Jeritan Penuh Dosa



   Arak-arakan langit senja terlihat begitu indah. Pepohonan seakan menari, menikmati belaian lembut angin yang berembus.Hujan rintik-rintik turun, menyongsong senja yang telah tiba.  Di balik keramaian kota, seorang Ibu paruhbaya menjinjing barang jualannya. Tersirat wajah bahagianya, walaupun kue-kue jualannya masih sedikit terjual.

                                                                                                                                             ***
   Ckiiit! Rem mendadak yang dilakukan oleh supir pribadiSyalia membuat badanku ke depan. Rupanya ada seorang ibu yang sedangmenyebrang. Pelan sekali.
  “Siapa sih, Ibu itu? Sudah hampir tua, lelet lagi jalannya,” gerutu Syalia seraya membuka kaca jendela mobil. “Oh,ternyata penjual kue. Ih, enggak level binggow,”lanjutnya.
Aku dan Syalia memutuskan untuk turun, lantas berjalan menuju ibu penjual kue itu.
  Syalia mengentakkan kaki.
“Ibu, kalau jalan bisa enggak sih, lihat-lihat?”
Spontan, Ibu penjual kue itu melihat wajah kami berdua, aku dan Syalia. Begitukagetnya aku. Ibu penjual itu adalah ….. Ibu!
 Hah? Ngapain Ibu jualan kue? Malu tahu. Apalagi dilihat sama Syalia.Huh, batinku kesal.

  “Layla, bukannya itu ibu kamu?” tanya Syalia.Aku diam seribu bahasa. Begini-begini juga, aku bukan malin kundang yang tidakmengakui ibunya. Ugh, harus gimana ini?
 Dengan sangat amat terpaksa, aku mengangguk.“Maafiin ibu aku ya. Ya udah deh, pesta tehnya diundur aja. Kamu pulang. Biar aku yang beresin semuanya,”
  Syalia mengangguk mengerti, lalu menujuke mobilnya.Brmm…. Mobil melaju, hingga hilang dari pandanganku. Kini, tinggalah aku dan Ibu. Aku dan Ibu berjalan ke pinggir.
   “Bu, ngapain sih Ibu jualan kue segala? Katanya ibu sakit. Sampai enggak mau beliin Layla baju lagi. Layla sebenernya udah sabar waktu Ibu enggak beliin baju. Tapi sekarang, ternyata Ibu bohong. Berarti ibu enggak sakit kan? Hujan-hujan gini relain jualan kue,”ucapku kesal. Aku membuka tutup keranjang kue yang dijinjing Ibu. Segera saja kuambil kue-kue itu dan membuangnya ke tanah. Ketika semua kue sudah berada ditanah, aku injak semua kue itu.

    Aku berlari meninggalkan Ibu. Untung saja,rumahku tak jauh dari sini.
***
  Sudah tiga hari lamanya Ibu tidak datang ke rumah.  Oups, rumah?  Mungkin. Tapi lebih tepatnya tempat berlindung dari bambu dan anyaman. Well,aku enggak tahu apa namanya rumah jelek itu. Jadi, selama ini aku berpuasa. Kalau di sekolah, aku selalu diberi chiki serta snack lainnya oleh teman-teman.
    “Assalamu’alaikum,” salamku ketika kakikusudah berpijak di rumah. Tak ada siapa-siapa. Huh, Ibu macam apa sih yang tega ninggalin anaknya. Udah tahu Bapaknya udah meninggal. Sekolahku juga dari beasiswa prestasi, karena menang lomba olimpiade. Awalnya sih beasiswa kurangmampu di sekolah dasar negeri, tapi karena mewakili sekolah hingga tingkatnasional dan juara, aku jadi mendapat beasiswa di sekolah eliteBack to the story.

 Bruuk!
 Aku menyimpan tas di dekat meja belajar yang telah rapuh. Eh,apa itu? Sebuah kotak besar. Dibungkus dengan kertas bermotif yang menawan. Sungguh indah. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku segera membukanya. Terdapat   lima potong baju yang aku idam-idamkanselama ini.
  Ngiung..ngiung.. ngiung..! Terdengar suaraambulns. Semakin lama, suaranya semakin mengeras.
  “Layla…! Layla …!” seru Bu Ida,tetanggaku. Beliau orang kaya. Rumahnya megah, antonim dari rumahku.
  ”Ada apa, Bu?”
“Ibumu, Lay. Ibumu….,”  Bu Ida langsung menjelaskan semuanya. Semua berawal dari tiga hari yang lalu. Ketika senja telah berakhir, Ibu tertabrak oleh mobil. Dan rupanya, Ibu tertabrak mobil karena dia pusing. Penyakitnya belum sembuh tapi sudah  jualan kue sambil hujan-hujanan. Itu karena aku, hiks…. Ibu. Jangan pergi! Aku membatin penuh penyesalan.
  Kau tahu, apa yang terjadi selanjutnya? Akumenangis dan menjerit sekeras-kerasnya. Jeritan penuh dosa, yang tak bisa didengar oleh Ibu. Bu, kalau Ibu bisa hidup lagi, aku ingin memeluk  Ibu dan meminta maaf, Bu …

Pelangi Tanpa Warna


 Papa. Yups, Papa seorang nelayan dan Mama adalah seorang ibu rumah tangga. Aku sangat menyayangi Papa dan Mama.
  Mataku berkelana, mencari sesuatu. Sesuatu yang tak kunjung muncul. Sesuatu yang sangat kutunggu-tunggu. Mengapa tidak ada pelangi? Bukankah pemandangan pagi itu indah, apalagi dihiasi pelangi. Pasti tambah indah.
  “Ma, suatu saat nanti pasti aku,Papa, dan   Mama bisa bermain di pelangi itu. Di sana kita juga menari dan berbagi banyak  hal,” ujarku seraya menerawang ke masa depan.
***
    Pelangi muncul di bentangan langit yang sangat luas. Begitu indah mempesona, namun suskses membuatku mengeluarkan air   mata. Teringat kembali kenangan kelam itu. Ketika tsunami Aceh melanda padatahun 2004. Tsunami itu merampas nyawa kedua orangtuaku. Sampai sekarang, tahun 2015, Papa belum ditemukan.

    Waktu itu, aku masih ingat. Di posko tsunami, Mama tergeletak lemah. Aku yang ada di sampingnya tak bisa apa-apa. Hanya menangis. Karena kaki kiriku, harus diambil karena kalau tidak diambil dapat menyebar ke seluruh badanku. Pasti kau bertanya-tanya. Mengapa bisa begitu? Kakiku mati rasa karena tsunami. Dan pada saat itu, ketika aku menengok ke arah Mama, ia berkatapelan, “Nurul, pasti nak. Kita bisa bermain,menari, dan berbagi banyak hal di pelangi,”

   Pada saat aku berkata akan bermain di pelangi, umurku belum genap empat tahun.
 “Dan, juara pertama diraih oleh…… Nurusysyfa  Al-Kautsari dari Aceh,” suara mc  membuyarkan lamunanku. Aku celingak-celinguk.  Suara tepuk tangan menggema, membuat pertanyaanku tidak terjawab.
  “ Nurul, kamu menang.” Beritahu Alya,finalis olimpiade IPA dari Sulawesi Tenggara. Sungguh tidak percaya aku. Sambil  terus memanjatkan syukur, aku maju ke depan panggung. Mataku melihat setiap    sudut yang ada di depanku. Semua finalis-finalis itu bertepuk tangan. Aku akhirnya bisa mendapatkan piala,uang,piagam, medali, dan mewakili Indonesia di   olimpiade Internasional.  Aku mengerjap-ngerjapkan   mata, berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Selama ini aku dibully, diejek karena kekurangan fisikku,tapi akhirnya bisa kubuktikan…..
***
   Paris di Prancis. Sebuah kota yang terkenal,  disebut dengan kota Mode. Semua mode di berbagai Negara berkiblat di sana. Dan  kini, aku berada di Paris. Menghadiri acara olimpiade tingkat Internasional   mewakili Indonesia. Paris, sebuah kota yang aku dan Papa Mama impikan setelahkota Mekkah. Saat hidup, Aku,Papa, dan Mama hanya bisa ke Mekkah saja,melaksanakan umrah. Tapi, belum sampai ke Paris.
  Ma, Pa… aku cinta Mama dan Papa. Tapi, bagaimana aku ekspresikan cintaku  ini? Andai saja mama dan papa masih ada, batinku.
  “Ma, suatu saat nanti pasti aku,Papa, dan Mama bisa bermain di pelangi itu. Di sana kita juga menari dan berbagi banyakhal,” seakan terdengar suara seseorang. Kalimatnya mirip apa yang kukatakan  ketika aku berumur tiga tahun. Mungkin, sekarang aku berada di pelangi. Pelangi kehidupan dan ini puncaknya. Kesuksesanku untuk mewakili Indonesia. Tapi, kalau ini diartikan sebagai pelangi, mungkin kurang sempurna. Pelangi tanpa warna tepatnya. Karena, tidak ada Mama dan Papa di sampingku..

Sayur Kangkung


Sayur Kangkung

"Ayolah, Dit! Kita berangkat makan sekarang!"
"Makasih, aku mau makan di rumah aja deh."
"Huuu, Radiiit! Kita ditraktir loh, masa kamu enggak mau?"
"Lain kali aja yaa, aku mau buru-buru pulang nih!" kata Radit menyandang ranselnya dan terburu keluar kelas.
Elvin, Shelma dan Fajri hanya menggelengkan kepala saja, melihat Radit yang sudah menghilang dengan sepedanya, tentu saja pulang ke rumahnya.
"Heran deh sama si Radit!" kata Elvin
"Iya, enggak pernah mau diajak makan-makan bareng." timpal Shelma
"Kalau aku sih udah enggak heran lagi, lah hampir tiap diajak, nolak terus hehhee.." kata Fajri pada ke dua sahabatnya itu.
Padahal, ada teman sekelas yang ulang tahun. Mereka semua akan ditraktir makan-makan di sebuah restoran ayam goreng, yang tidak jauh dari sekolah. Tapi lagi-lagi, Radit tidak bisa ikut bersama mereka. Suatu hal yang membuat ketiga sahabatnya menjadi penasaran.
smile emoticon smile emoticon smile emoticon
Hari ini, ada tugas belajar kelompok. Dan kebetulan giliran di rumah Radit mereka akan belajar. Setelah bel usai sekolah hari ini. Radit, Shelma, Fajri dan juga Dian segera menuju tempat parkir sepeda. Hampir semua anak kelas 5 dan 6 membawa sepeda ke sekolah. Lagi pula rumah mereka tidak begitu jauh dari sekolahan. Hanya Dian yang tidak membawa sepeda, dan dia ikut membonceng di sepeda Radit.
Rumah Radit, cukup dekat dari sekolahan. Namun jalan menuju ke rumah Radit cukup penuh perjuangan juga karena rumahnya tidak di dalam kompleks seperti yang lain. Mereka harus melewati pematang sawah dan sebuah sungai kecil.
"Dit, aku baru tahu loh, ada tempat seseru ini di sekitar sekolah kita!" kata Dian terkagum-kagum sepanjang perjalanan.
"Hahaha, aku sih tiap hari lewat sini, jadi ya biasa aja tuh!" jawab Radit.
"Wooy Dit, masih jauh enggak sih?" tanya Elvin yang berbadan sedikit gemuk itu.
"Tenaang, masih dua kilometer lagi!" celetuk si tomboy Shelma.
Semua tertawa melihat wajah Elvin yang ternganga dan penuh keringat itu. Dia memang tidak biasa bersepeda dengan jalanan seperti itu.
Akhirnya mereka sampai juga di rumah Radit yang adem, karena banyak pohon buah dan ada dekat persawahan.
"Assalamualaikuum.." kata Radit sambil membuka pintu rumah yang tidak terkunci.
"Waalaikumsalaaaamm.." sebuah suara menyahuti mereka.
"Nek, ini teman-teman Radit mau belajar kelompok di sini." kata Radit memperkenalkan semua teman-temannya.
"Oh ya sudah! Sebelum mulai belajar kalian makan siang dulu yaaa!" tawar nenek pada semuanya.
Tentu saja, mereka semua mengangguk setuju. Setelah mencuci tangan, mereka semua duduk lesehan di lantai rumah yang bersih dan beralaskan tikar. Aroma masakan nenek sangat menggoda selera. Padahal yang terhidang hanya goreng tahu, tempe, dadar telur dan semangkuk besar sayur kangkung yang masih panas. Tentu saja juga ada sambal terasi, hmmm yummy!
Awalnya semua teman Radit terlihat malu-malu saat mulai makan. Tapi ketika mereka mencicipi sayur kangkung masakan nenek, selera makan mereka mengalahkan rasa malu. Apalagi saat nenek berkata
"Ayo dihabiskan, jangan malu-malu. Anggap saja di rumah sendiri!"
Elvin sudah banjir keringat, Shelma dan Dian terlihat lahap begitu juga Fajri dan Radit. Kemudian Fajri berkata sambil menambahkan sesendok sayur kangkung lagi ke piringnya
"Sekarang, aku jadi tahu apa rahasia Radit enggak pernah mau diajak makan-makan sama kita!"
"He ehh, aku juga udah tau!" jawab Shelma
"Apa emangnya?" tanya Radit terheran sendiri.
"Rahasianya karena sayur kangkung!" kata semua teman Radit berbarengan.
Tiba-tiba nenek datang dan bertanya
"Kenapa dengan sayur kangkung nenek?"
"Mantap maknyosss nek!" jawab mereka bersama-sama.
grin emoticon end!

Friday, April 3, 2015

Aku Adalah Akar

Ditulis oleh: Queen Aura (Penulis KKPK)
27 March 2015 at 09:53


"Alhamdulillah.." bunda berucap syukur.
Semua yang ada di ruangan itu bertepuk tangan dengan gempita. Aku, adikku dan Ayah tersenyum bangga menyaksikan kakak yang berdiri dengan anggun saat menerima piala kemenangannya.

Ya, kakak kembali menjadi sang juara untuk yang kesekian kalinya. Buat kakak menjadi pemenang itu sudah suatu hal yang mudah. Lemari di rumah pun penuh sesak oleh piala dari berbagai macam jenis perlombaan. 

Di balik perasaan bangga memiliki kakak yang hebat terselip juga sedikit perasaan iri. Bagaimana tidak iri, kalau hal yang sangat sukar bagiku begitu mudah buat dia? Apalagi kalau di mata pelajaran matematika, guruku yang dulunya juga menjadi guru kakak dengan senang hati membandingkan aku dan kakak di hadapan teman sekelasku. Atau pada acara keluarga besar kami ngumpul, semua pasti memuji kakak dan ujungnya lagi-lagi tertuju padaku..

"Wah, Rin begitu hebat! Kamu gimana Ra, belum pernah nih denger si Aira juara apapun heheheheee..." itu hanya satu contoh kalimat yang menusuk-nusuk ulu hatiku.

Tapi, sepertinya pujian itu akan terus mengalir kepada kakak dan juga adik. Sejak adik telah pandai membaca di usia tiga tajun, perkembangannya begitu luar biasa. Barangkali adikku memang termotivasi dari kakak. Dan, lagi-lagi aku akan jadi Aira yang hanya penonton di pinggir panggung. Menyaksikan kakak dan adik yang bersinar dengan prestasinya.

Aku kembali meletakan piala itu ke tempatnya. Hari ini adalah jadwalku membersihkan rumah kami yang mungil. Aku termangu memandang deretan piala itu yang tiga diantaranya punya adik.

"Aira, kok malah melamun?" tiba-tiba bunda sudah asa dekatku.
"Eh, mmm... Bunda, maafin Aira ya belum bisa mwmbanggakan bunda dan ayah seperti kakak dan adik.." kataku dengan lirih
"Siapa bilang, Aira enggak buat bunda dan ayah bangga?" kata bunda penuh senyum
"Tapi kan di lemari ini belum ada piala atas namaku, bunda."
"Hmmm, sayang, piala itu memang buat bangga, tapi bukan satu-satunya kebahagiaan buat bunda dan ayah. Tapi ada yang lebih berarti dari itu semua!" kata bunda mengelus rambutku yang panjang.
"Tapi kan Aira belum bisa membanggakan.."
"Justru bunda sangat bangga pada Aira!"
"Ahh bunda hanya menghibur Aira, kan?"
"Sayang, buat bunda dan ayah memiliki kalian bertiga itu seperti punya sebatang pohon yang kuat!" kata bunda dengan mata bersinar bahagia.
"Maksud bunda?"
"Iya, sebatang pohon yang kuat dan kokoh itu butuh akar yang kuat dan tidak perlu terlihat! Kalau kakak dan adik adalah bunga dan buah yang tampak bagus dan memikat, maka Aira adalah akarnya! Tanpa akar, sebatang pohon jangankan berbunga dan berbuah, tumbuh aja enggak bisa." bunda berkata panjang lebar sambil memelukku erat.

Aku tetap saja butuh waktu yang lama untuk mengerti apa yang dikatakan oleh bunda. Tapi yang jelas sekarang aku senang dan mengerti, kalau aku ternyata juga membanggakan bunda dan ayah meski tanpa piala.